23 Jan 2024

Antara Greenflation, Greenfashion, Green Economy dan Greenriver

 

Di sebelah  rumah kami adalah sungai Opak yang mengelir sepanjang tahun, tidak pernah mengering. Sungai ini menjadi tempat penghidupan para penggali pasir meskipun skalanya hanya kecil. Saban hari paling tidak sekali atau dua kali atau mungkin bisa 3 kali bak mobil pick up akan melintas membawa hasil panenan pasir. Meski pasir-pasir itu seperti tak ada habisnya, tetapi konon menurut orang-orang itu semakin lama semakin sulit mengumpulkan pasir dari titik-titik lokasi yang ada. Jumlah mereka pun tak sebanyak dahulu yang didominasi orang orang paruh baya. Mungkin tak lebih dari setengah lusin. Ada seorang remaja yang ikut rombongan penggali pasir itu tetapi sepertinya hanya khusus menjadi supir pick up, bukan lagi terjun ke sungai menggali pasir. 
Bagi penggali pasir berlaku juga musim panen besar, yakni apabila sang Merapi memuntahkan isi perutnya untuk kemudian mengalir menjadi banjir lahar dingin, maka pastilah sekujur sungai opak itu akan dipenuhi berkubik-kubik pasir. Musim panen yang skala kecil-kecil datangnya bisa tiap tahun yakni sehabis musim hujan dimana sungai membawa banjir yang akan mengisi cekungan-cekungan pasir itu dengan pasir-pasir baru. Begitu seterusnya sekelompok kecil lingkaran penghidupan penggali pasir itu di dekat tempatku. Tak ada peralatan berat yang mereka gunakan, selain sekop pasir, wadah yang ditaruh dalam ban bekas serta tenaga mereka. Pun saat ini tak ada truk yang diperbolehkan masuk, melainkan sebatas mobil pick up. Karena toh tak banyak yang bisa dikeruk kembali dari sisa hempasan banjir kecuali apabila merapi kembali erupsi.Bertahun-tahun sampai kemudian sepertinya sudah ada hukum hukum keseimbangan antara tinkungan sungai opak itu dengan kelompok penggali pasir itu untuk menggali pasir sampai batas tertentu. 

Wajah-wajah penggali pasir itu, tentu saja kami hapal karena hampir saban hari berpapasan melintas di jalan satu satunya depan rumah kami yang menghubungkan tikukan terakhir menuju kelokan sungai opak yang menjadi titik kumpul mereka. Di tempat itu, penanda kehidupan penggali pasir dapat terlihat jelas gubug bambu, wadah, ban bekas, tali tempat mereka meletakkan wadah-wadah dan gundukan-gundukan hasil mengali pasir. Konon katanya, saat musim panen pasir, yakni selepas musim banjir berlalu, orang-orang itu dapat berangkat dini hari menggali pasir sampai kemudian selesai menggali di pagi hari ini. Kemudian mobil-mobil pick up akan merapat di pagi hari itu, mengangkut hasil galian, lantas menjualnya ke lokas-lokasi pembangunan, atau orang-orang yang membutuhkannya secara langsung.

Tubuh para penggali pasir itu rata-rata kekar dengan kulit gelap terbakar. Sepertinya tak ada dalam kamus mereka rasa takut pada sungai itu, pada dinginnya air, kawanan ular, atau cerita-cerita tentang makhluk gaib penunggu sungai opak. 
 
"Apa hubuhannya dengan greenflation?" Katamu, sembari nangkring di bawah rumpun bambu dan potongan-potongan kayu dimana dahulu pernah ada jembatan gantung dari bambu disitu.
 
Dahulu memang pernah ada jembatan bambu disitu yang disaat musim kemarau kita biasa berdiri memandang lanscapa sungai opak yang berwarna hijau berkilau karena jutaan ganggang serta lumut-lumut yang tumbuh serta pantulan rimbun bambu.
 
Sungai opak, sungai penghidupan itu memang punya banyak warna. Kadangkala berwarna coklat, kadangka bening bercahaya, atau berwarna hijau seperti laiknya greenriver. Saya rasa, warna yang hijau, aroma sungai, gangang, ikan-ikan, ular, biawak, rumpun bambu, para pemancing serta orang-orang penggali pasir, bahkan dirimu sudah menjadi bagian kesatuan ekologi tikungan sungai itu.
 
"Asbun kau, bahkan tak nyambung tentang greeneconomy pun", Katamu sambil menghela nafas yang tanpa kau sadari nafasmu telah mengeluarkan karbon monoksida yang sebagian ditangkap oleh hijau daun rimbun bambu itu serta klofil ganggang-ganggang di permukaan sungai opak itu. 

Kamu tidak menyadari tentang 'equilibrium'. Green economy konsep dasarnya tanpa kita sadari telah terjadi orang-orang itu, dengan tidak menambang pasir berlebihan, dengan menganggap sungai adalah sungai kehidupan yang hidup dan bercakap dari waktu ke waktu kepada pemancing yang mencari ikan, kepada kita yang memandang ganggang-ganggang dari atas jembatan bambu untuk terus saling menjaga keseimbagan ini.

"Kamu terlalu ngayal tingkat tinggi! pun tak ada hubungannya dengan greenflation!" Serumu sembari dengan reflek menepuk jidatmu yang tersengat oleh nyamuk kebun. Kamu sedikit terhenyak saat melihat nyamuk yang berhasil kau bunuh hingga gepeng dan berdarah-darah itu ternyata bercorak hitam putih di kakinya!
"Aides Aigepty"! serumu dengan wajah menyiratkan kecemasan!
 Tetapi tidak kita tahu, tidak hanya sekali ini kita digigit nyamuk seperti itu dan tidak terjadi apa-apa. Bukankan ia juga bagian dari ekosistem ini? Bagaimana juga nyamuk itu tidak ada, atau dibuat punah? Saya belum bisa membayangkan yang terjadi, tetapi pastinya akan ada keseimbangan baru dan tentunya sebelum keseimbangan baru itu terjadi akan terjadi "sesuatu chaos" mungkin itulah gambaran inflasi hijau! 
 
"Ah, kamu asal ngomong saja!", katamu sembil mengambil batu kecil, lantas melemparkan sejauhnya menuju ujung sungai itu.
====
 
Lalu akupun teringat kutipan sajak Sapardi Joko Damono
"Dalam diriku mengalir sungai, darah namamnya...."
 

21 Jan 2024

Tak ada kebahagiaan menaiki kemewaran Rollercoaster ala ibu-ibu Tani di Food Estate!


 

"Hey, itu seperti ibuk!" katamu setengah berteriak!"

 Dan kami pun harus mengentikan laju motor kami setengah mendadak. Di depan kami tengah berjalan terseok sebuah mobil pick up yang penuh muatan. Kami tentu saja dapat dengan mudah menyalipnya, tinggal menunggu saat yang tepat ketika lajur kanan kami telah kosong, lantas dapat dengan mudah menghela gas dan menyalipnya. Tetapi sesekali ini kami ingin mengikuti mobil pick up ini.

Mobil pick up ini tengah berjalan terseok. Suara mesinnya benderam dengan asap knalpot yang sedikit menebal mendakan betapa ia tengah terengah-engah melaju antara menjaga kecepatan serta keseimbangan muatan yang lumayan diluar kondisi ideal. Di bak muatannya karung-karung serta tumpukan jerami yang menggunung melampaui volume biasanya. Diatasnya tentu saja yang membuat kami terpana adalah segerombolan perempuan-perempuan tani yang duduk bertengger di gundukan jerami itu. Mereka tidak seling berpegangan satu sama lain yang menandakan tak ada cemas sedikitpun bila tergelincir jatuh. Melainkan, tangan mereka memegang buntalan masing-masing. Ada yang membawa ceret minuman, sisa bekal, serta centang perentang lain yang entah apa isinya. Di kepala mereka masing-masing mengenakan caping yang sepertinya mampu mengusir hawa terik siang hari ini. 

Ini bukan di Magetan, tentu saja. Dan yang bertengger diatas gundukan jerami mobil bak itu tentunya bukan ibuk, meskipun ibuk hampir pasti tak pernah absen pergi ke sawah bersama perempuan perempuan lain di desa sana saat musim panen tiba.

Atau ingatkah kamu pada rombongan ibu-ibu bersepeda dengan membawa jerami hasil panen? Tentu bukan pula pertama kalinya kita melihatnya, tetapi tetap saja kita selalu selalu merasa takjub pada mereka.

Kamu menyebutnya Ibuk, meskipun sebenarnya ia adalah nenekmu, seorang perempuan paruh baya hampir menginjak kepala lima yang dahulu konon pernah bekerja di kota untuk kemudian kembali ke desa menemani mbah buyut Sami. Barangkali ibu adalah segelintir dari generasi terakhir ibu-ibu yang masih aktif menjadi buruh tani setiap musim tanam maupun panen padi desa sana.

======

Laju kendaraan kami masih mengikuti mobil pick up penuh muatan perempuan perempuan tani yang bertengger dan bercengkrama dengan gembira di atas tumpukan jerami itu. Mata kami tertuju pada wajah-wajah mereka serta mulut kami seakan ingin berbincang mengikuti percakapan mereka yang renyah di tengah terik matahari siang itu. 

"25ribu, 40 ribu, atau 50 ribu mungkin lebih. Hey, tapi bukankah kebagian tak terbeli?" Katamu sekali lagi.

Ya, di Magetan sana Ibuk pernah bilang padamu, sekali ikut matun (menanam padi), atau panen biasanya mendapat kira-kira 30 ribu. Saat panen, jika telaten, bisa juga membawa sisa-sisa hasil panen, seperti jerami untuk pakan ternak dan sisa-sisa gabah yang dapat dikumpulkan untuk dijadikan beras.

Tetapi apa yang lebih khidmat dan bahagia selain barisan perempuan-perempuan yang berjajar menelisik padi lalu memanen beriringan? Apa yang lebih syahdu selain alunan hempasan panenan padi serta meriah obrolan yang terlontar dari perempuan-perempuan petani itu? Apa yang lebih bijak selain saat tangan perempuan-perempuan itu bercengkrama dengan batang-batang padi yang tumbuh dari tanah ibu pertiwi? 

Juga betapa nikmatnya duduk bertengger di atas bak tumpukan jerami yang lebih menantang daripada menaiki rollercoaster tertinggi sekalipun di dunia ini?

"Aih, alangkah buruknya mesin-mesin itu?", katamu dengan sedikit nada getir.

Aku tak bisa menjawab pertanyaanmu itu, tentunya. Mungkin banyak pertanyaan itu akan terjawab oleh waktu. Tetapi saat ini cukuplah kamu masih memiliki ibuk-mu yang masih memelihara "penghidupan" tani "seru" itu, Penghidupan tani yang tidak kesemuanya diukur dengan uang, atau hasil panen; atau kecepatan panen lewat mesin-mesin itu. 

Barangkali orang-orang akan digantikan mesin, tetapi juga barangkali romantisme itu juga akan digantikan hal lain.

20 Jan 2024

Suatu Pagi dengan Sepeda Mail

 

 
Kali ini aku mengajaknya berkeliling-keliling desa naik sepeda dengan sebuah sepeda tua yang sudah berkarat warisan simbah Buyut Sami. Sepeda itu konon salah satunya yang tersisa dari barang mewah yang dahulu jarang dimiliki gadis desa di masanya, Sepeda itu masih meninggalkan bekas cat aslinya berwarna kuning cerah di bagian body. Entah kenapa melihat sepeda ini ingatanku terbersit pada sepeda 'Mail' dalam serial upin dan upin. Mungkin karena saat pertama kali menjajalnya, usia 'Damai' masih terlalu kebesaran untuk mengendarainya, sehingga yang terlintas di benakku adalah adegan si Mail yang muncul dengan sepedanya yang kebesaran lengkap dengan suara khas epik "theng ..theng ..theng .. theng ...theng...".

Sekitar tahun 1970an, mbah buyut Sami, putri anak orang kaya dan terpandang di desa itu telah dipersunting oleh seorang pemuda yang menjadi pengusaha kerupuk. Konon usaha kerupuk pemuda itu dirintisnya dari sebuah usaha rumahan yang diproduksi sendiri serta dijajakan sendiri. Dengan berbekal sepeda dan rombong untuk menaruh kerupuk, pemuda itu menjajakan kerupuknya dari desa ke desa, dusun ke dusun, kampung ke kampung, warung ke warung serta rumah ke rumah. Usah itu telah melebar yang kemudian menakdirkannya bertemu dengan mbah buyut Sami. Saat ini di kampung halamannya sendiri masih tersisa beberapa rumah yang memproduksi kerupuk, tetapi tidak dengan bekas industri rumahan pemuda yang mempersunting mbah buyut Sami itu.

Saya tak mendapatkan cerita bagaimana kemudian pemudia yang mempersunting mbah Sami itu kemudian berhenti menjadi pengusaha dan penjaja kerupuk, tetapi konon katanya di sekelumit riwayat hidupnya yang kudengar dari anak-anakknya, pemuda yang tak lain simbah buyut kakung itu adalah pekerja keras. Pagi sampai menjelang petang tak berhenti menggarap lahan, memelihara kerbau serta di sela-sela waktu menyempatkan diri membuat batu-bata. Konon simbah buyut kakung tak banyak berucap, hampir keluruhan aktivitasnya adalah tindakan. Maka aku membayangkan dua pasangan itu bertemu; mbah buyut kakung dari latar belakang pekerja keras dengan mbah buyut Sami seorang putri terpandang dan kaya raya di sebuah desa kecil dekat perbatasan Ngawi-Magetan.

==================

Ayunan sepeda kami berhenti sebentar di jalan masuk ke Desa yang ditandai sebuah kuburan tanpa tembok pembatas. Sebuah pohon asam yang tua, mungkin seumuran dengan usia kuburan itu nampak menauingi hampir keseluruhan kuburuan itu. Dahulu anak dari mbah Samsini, anak dari mbah Buyut sami konon waktu kecilnya suka bermain di kuburan tua itu untuk mencari buah asam. Di kuburuan tua itulah kini mbah buyut kakung telah dimakamkan.

"Tak anehkan jika buah-buah asam itu dimakan?" tanyamu.

Hmm, barangkali kalau tau buah-buah asam itu berasal dari kuburan tua itu, ada yang tidak mau memakannya. Tetapi bukankah itu sudah menjadi tanah? 

Aku mencoba mengaburkannya bahwa ada banyak kuburan-kuburan tua itu selalu ditandai dengan pohon-pohon asam, ada juga pohon trembesi, beringin ataupun kamboja. Paling tidak kalau pohon asam, itu bisa bermanfaat buahnya, orang-orang apalagi anak-anak akan tak segan mengunjungi makam walau sekedar mencari buah-buah asam yang jatuh di antara nisan-nisan itu. Nisan yang salah satunya ada nama mbah buyut kakung. 

========

Kami mengayuh sepeda lagi, Ia masih dengan sepeda Mailnya. Matahari  berpendar makin meninggi sampai ke sekujur hamparan sawah dan pematang. Suara mesin diesel dan siebel (sebutan petani setempat untuk menyebut mesin pompa air dalam bertenaga listrik) mulai bersahutan mengisi sawah-sawah. Memang, sudah sejak lama saluran-saluran irigasi itu mengering, berganti dengan pengairan diesel. Kami melanjutkan mengayuh sepeda lagi menuju kembali ke rumah Mbah buyut Sami.


19 Agu 2023

Trees and the bees, please..

 

 


leave me the trees and the bees, please...

Ada banyak mimpiku dengan pohon. Satu pohon terngiang di kepalaku adalah pohon randu. Karena pohon itu adalah seperti salah satu pohon yang menjadi kosakata pertama di masa kanakku. Ingatan pertama kali dimana aku dilahirkan dan tinggal; sebuah pohon randu di tepian jalan Imogiri ti

mur yang di tahun-tahun itu jalan imogiri adalah sebuah jalan yang masih belum sempurna beraspal yang saban pagi dan sore masih dilalui pesepeda imogiri jogja, juga landscape sebuah masjid tua, sawah, dan kuburan tua jauh memencil. Tapi saat itu kuburan tua itu masih terlihat bebas, tegak lurus arah pandang, belum terhalang apapun. Maka ketika kau tepat berdiri di balik pohon randu itu, landscape sawah dan sepotong kuburan tua akan terbingkai seperti sebuah lukisan misterius.Konon katanya kakakku pernah melihat pocong yang kesiangan tengah duduk di atas kijing saat ia berdiri disamping pohon randu itu.
2014, pohon randu itu tak tersisa, bahkan sepanjang pinggir jalan imogiri itu seingatku dulu penuh dengan pohon randu. Kelopaknya berwarna oranye, lebar, dengan engan tungkai-tungkai yang menjulur. Daun itu adalah mainan kami dari membuat mahkota di kepala sampai membuat pewarna alami dengan melunturkannya pada air.

Pohon Kapuk
Pohon lainnya adalah pohon kapuk, adalah pohon kapuk tua yang biasanya di musim berbuah,

15 Agu 2023

The Motorcycle Diary

 


Bagi yang pernah menonton motorcycle diary, mungkin sependapat dengan saya bahwa film yang dinukil dari "catatan harian" che guevara ini di bagian akhirnya kurang mengigit. Tapi bagaimanapun saya yakin, sangat sulit menggambarkan 'berbagai petualangan', refleksi dan pikiran-pikiran si aktivis muda 'che guevara' ini kedalam sebuah kemasan tontonan yang mengasyikkan.
====
Nun, sore itu aku dihubungi temanku dari Malang tentang seorang anak laki-laki sahabatnya sesama 'aktivis' yang telah terlantar di kota Yog. Anak laki-laki ini, melakukan perjalanan petualangan ke kota Yog dengan mengendarai motor  honda 'pitung'. Motor honda pitung adalah istilah motor honda bebek C70 yang umurnya kira-kira berjarak 4 dekade dari umur anak laki-laki yang kini 'terlantar' di kota Yog itu.
Sebenarnya istilah 'terlantar' bukan istilah yang tepat bagi anak laki-laki itu, karena saat aku meluncur dan menemuinya, ia nampak baik-baik saja. Agaknya, ada orang-orang 'baik' yang telah menolongnya, memberikan tumpangan serta menghubungi salah satu keluarganya yang kemudian menghubungiku untuk menemuinya.

Ya, kesulitan anak laki-laki itu dimulai saat handphone anak laki-laki itu dijambret orang. Ditambah lagi motor honda bebek C70 yang dikendarainya telah mogok, sedikit uang tersisa dan beberapa bungkus mie instan. Pun, tak ada catatan alamat tujuan yang ia bawa di Kota Yog.

"Tak ada! tak rekan! Saudara juga tidak!"
===
Aku berangkat dari Malang pada hari jumat. Seorang diri, dengan bersemangat, aku memacu honda bebek C70 ku melalui kota kediri, tulungagung, Trenggalek, lantas melewati Ponorogo, Wonogiri lantas melintasi protokol kota Solo, sampai akhirnya melewati Kutoarjo, jalan beraspal lebar dengan kiri kanan persawahan di Klaten, untuk kemudian sampai di Prambanan yang menjadi ujung timur kota Yog. 

Hari sudah benar-benar gelap, mungkin sudah melewati dini hari dimana jalanan mulai lenggang dengan cahaya cahaya lampu, neon serta billboard pada plafon, pohon pohon yang membeku, tikus yang bergerak cepat di gorong-gorong serta sesekali suara derum kereta di kejauhan, saat aku memasuki kota Yog. Dengan suasana seperti itu, aku seperti memasuki lorong tanpa pertanda juga penanda akan perhentian manakah yang akan kutemui. Maka rasa kantukpun seperti sudah menyatu dengan kabut dan debu jalanan itu, juga pada pedagang-pedagang pasar yang mulai hibuk melintas dengan motor bertumpuk rombong serta aneka hasil bumi. Sepertinya pedagang pasar itu jadi penunjuk ruang dan waktu, hari telah lepas tengah malam dan aroma pasar tua kota Yog jadi pertanda pusat kota Yog sudah dekat

Apes, lepas memasuki kota Yog, saat melewati Kalasan honda bebek C70 ku tiba-tiba batuk-batuk untuk untuk berhenti melakukan pembakaran di mesinnya. Maka akupun berhenti, meneliti, apakah bensin habis, apakah busi, atau hanya karena terlalu panas?

"Ikhtiarku gagal!"

Honda C70 itu tak sedikipun bergeming, bahkan bunyi mesin batuk-batuk atau sekedar asap yang mengepul tak jua muncul. Aku menyerah sampai akhirnya menuntunnya sampai jauh, mungkin 7, mungkin pula 10 atau mungkin lebih kilometer telah kujalani dengan menuntunnya. 

Aku ditolong oleh orang baik itu. Ia menamakan dirinya mas relawan yang kemudian memberikan beruntun kebaikan dari tumpangan sampai dengan uang saku. 

===

10 Agu 2023

Kotak Televisi itu Bernama Imajinasi

 

 
Kami berdua adalah penyuka kartun Spongbob, meskipun dalam lingkungkan rumah kami saat ini, hanya kami berdua yang melakukannya, yakni menonton kartun spongbob. Meskipun berulangkali kami mendapat pertentangan tentang sebegitu absudnya film kartun Spongbob!
Bayangkan, ada makhluk seaneh itu, ada api di dalam dasar laut, ada tupai yang memakai baju selam dan membangun rumah pohon di dasar laut bernama Sandy. Atau ada rumah nanas, siput gery yang bisa 'mengeong' seperti kucing, patrik yang rumahnya berupa batu, atau squidward si Tentakel yang memakai baju tetapi tidak memakai celana. 
Lebih absurd lagi bagaimana ada Tuan Crab si kepiting yang memiliki anak gadis berupa Hiu bernama 'Pearl'.
Kami berdua tetap saja menikmati setiap seri tayangan Spongbob, karena dalam tiap episode selalu ada petualangan seru yang membawa kami ke dunia bernama 'Imajinasi'.
Kotak Imajinasi
Ya, kami ingat betul bagaimana salah satu cerita spongbob paling unik adalah saat Squidward membeli televisi set baru. Tentu di karakter Squidward yang angkuh, lantas akan membagakan dirinya bagaimana ia sebagai orang yang merasa 'berkelas; akan menonton akan menonton siaran televisi dari kotak TV yang 'berkelas' pula. 
Squidward yang menerima kiriman TV Set terbaru itu yang masih terbungkus kotak kardus tersebut,  lantas membuka kotak kardunya dan meletakkan televisi set terbarunya di depan sofa rumah 'Moi' nya.
Sementara Spongbob dan Partrick dengan senang hati mendapatkan kardus bekas bungkus dari TV Set tersebut. 
Keseruan pun dimulai saat di dalam rumah Squidward mulai menjajal set televisi terbarunya, sementara di luar, terlihat dari jendela rumah Squirdward, Patrick dan Spongbob tengah bermain dengan kotak kardus bekas bungkus televisi tersebut.
Spongbob dan Patrik masuk dalam kotak kardus tersebut, dan mulai dalam keseruan permainan tersebut, mereka mulai menimbulkan suara-suara gaduh. Dari luar kotak kardus itu, terdengar suara-suara seperti berbagai macam 'petualangan' dari permainan balab mobil, petualangan di antariksa, dan berbagai keseruan mereka.
Maka, tak ayal, Squirdward mulai Gabud  dan terganggu, ditambah lagi kotak televisi box terbarunya mulai membuat ulah. Siaran televisinya seperti monoton, bahkan mengejek squirdward yang semakin menambah 'ke gabud' tan Squirdward.
Semakin lama suara di kotak box itu semakin seru, hingga menambah efek ke kegundahan hati Squirdward. Iapun lantas beranjak menuju kotak box itu, dan membuka isinya yang tentu saja di dalamnya bercokol Patrick dan Spongbob yang seperti tertawa bahagia.
"Mau ikut bermain dengan kami Squirdward? Kotak televisi ini luar biasa hebat!"
 Maka terjadilah berdebatan di antara mereka yang tentu saja Squirdward menyangkal tindakan mereka berdua (Patrick dan Spongbob) sebagai orang yang bodoh dan tolol.
"Bagaimana mungkin kalian bermain-main di dalam kotak kosong itu? Hanya orang Tolol yang melakukannya!" Ejek Squirdward.

Tetapi saat Patrick dan Spongbob masuk dan bermain kembali di dalam kotak kardus itu, Squirdward kembali mendengar "suara-suara" petualangan yang sangat realistis. Bahkan lebih realistis dari televisi box yang baru saja ia beli. Ada suara petualangan di negeri dinasaurus, ada suara konser musik grup band terkenal, ada suara permainan balap mobil, lomba balap karung, lomba makan kerupuk, lomba panjat pinang, tarik tambang dan keseruan lomba 17 agustus lainnya. Ada pula suara hewan-hewan; kucing bertengkar,  harimau mengaum, kuda yang kehilangan sepatu, gajah yang mandi bola dan lain sebaginya.

Squirdward semakin penasaran, lantas membuka kotak box itu dan mengatakan pada mereka bahwa itu hanyalah trik, atau tipuan. Pasti mereka mau menipu daya padanya agar ia lebih memilih kotak kardus itu dan mereka berdua bisa melihat TV set Box terbaru milik Squirdward.
"Pasti ada sesuatu, mungkin rekaman yang kamu sembunyikan di kotak kardus ini!"
Squirdward lantas meringsek masuk dalam kotak kardus itu, dan memaksa mereka berdua keluar. 
Ia lantas meneliti tiap kotak kardus itu, semili demi semili, tetapi tak menemukan apa-apa selain "hampa".
"Begini cara kerjanya Squirdward! Semua ini hanyalah Imajinasi!" Kata Spongbob!
Maka di Squirdward pun menjajal apa yang dikatakan Spongbob, mencoba membayangkan dirinya mengendari mobil dalam kotak box.
Saat kotak box itu seakan-akan mulai berjalan dan terdengar suara mobil yang melaju, Squirdward pun tercengang!
"Berhasil! Imajinasinya berhasil! Spongbob benar!"
Tetapi dia tidak menyadari sesuatu di luar bahwa kotak box itu tengah diangkut oleh mobil truk sampah yang membawanya ke tempat pembuangan sampah luar kota Bikini Bottom.
----
Ada banyak serial Spongbob yang seru dengan cerita cerita unik, tetapi sequel tersebut menurut kami adalah sequel paling menggambarkan apa yang menjadi misi utama dari tontonan kartun 'Spongbob', yakni "Imajinasi". Maka jika di rumah itu hanya kami berdua, "Aku dan putri sulungku" yang menonton Spongbob,  pastilah di kepala kami punya imajinasi yang beda-beda. 
Semenjak itu jikalau ada di rumah yang menyeletuk perihal kebiasaan kami nonton Spongebob, akan kami jawab "Hanya orang-orang yang ber-Imajinasi- tinggi" yang bisa menikmati tontonan ini!
Kalau tidak akan senangsip seperti Squirdward yang coba-coba berimajinasi sampai akhirnya terjebak di tempat sampah.

"Terbanglah yang tinggi, Imajinasi..., agar kau tau asalnya dari membumi!"





9 Agu 2023

Pada Sebuah Pantai yang Berwarna Merah


Pada sebuah pantai yang berwarna merah, sesunguhnya bukan merah darah, melainkan pendaran senja yang sebentar lagi akan larut ke ujung samudera itu.....

Nun, ia pulang dari rutinitasnya dari bekerja, tetapi kali ini beda, yang menyeretnya ke sebuah pantai di ujung selatan Kabupaten Banyuwangi. Di pantai itu, tepatnya agak menyeberang sedikit, terdapat seonggok batuan raksasa yang membukit sehingga oleh penduduk sekitar dinamai dengan pulau merah. Nama yang mungkin karena pendaran cahaya senja yang memantul pada sekujur pulau itu.

Iapun kini terduduk di pinggir pantai itu, sementara permainan cahaya masih silih berganti secara konsisten membiaskan perubahan dari  biru langit, hijaunya ganggang-ganggang serta bakau yang khusuk berbisik bersama angin dan pasir, serta merahnya matahari yang berangsur menyerap seluruh permainan cahaya di sekujur ujung samudra. 

Sesekali ia seperti melihat perahu layar di kejauhan, atau mungkin itu hanya ilusi optik yang membayang dari pikirannya sendiri tentang para nelayan-nelayan pemberani yang mengarungi samudera demi samudera sambil menggengam rangsum perbekalan yang dibawanya dari kampung halaman.Barangkali dari rangsum perbekalan itu, nelayan itu bisa mencium aroma rumput halaman rumah. Barangkali juga aroma tanah, aroma pohon pohon nyamplung yang menyambutnya di panti, aroma bakau serta batu-batu kali, aroma kayu bakar dari tungku dapur, serta aroma ketiak ibunya yang tengah memasak sayur buat sarapan anak-anaknya. Karenanya ia bisa selalu teringat jalan untuk kembali.

Kali ini ia seperti nihil diantara permainan cahaya itu. Ia hanyalah seonggok kayu tanpa tanpa nama itu, yang sesekali bergerak karena terhempas arus pantai. Kali ini kebahagiaan ataupun kesedihan atau apapun rasa itu hanyalah permainan cahaya yang bersumber dari warna yang sama.

Pulau Merah, Banyuwangi, Februari 2023


3 Agu 2023

How Cat You Go?

 


Saya hanya kangen membuat tulisan. Saat ini tulisan di blog itu tidak sepopuler orang membuat konten youtube, tiktok ataupun instagram. Tapi biarlah, karena blog ini barangkali eranya sudah lewat. Orang Indonesia, sudahlah terbukti memang kurang suka membaca, atau memang tradisi lisan sudah mengakar dari jaman moyang. Tradisi audio visual kalau dahulu mungkin berbentuk kesenian ketoprak, tarian, atau bahkan sampai ke pertunjukan wayang menjadi media yang banyak berkembang yang kini menemukan tempatnya pada kanal-kanal youtube, facebook, instagram, tik-tok atau platform lainnya.

Bagaimana dengan tulisan? apakah lambat laun tulisan sendiri akan berganti dengan AI? yang kemudian orang tidak perlu 'secara teknis' membaca, tetapi mendengarkan tulisan yang dibaca oleh AI? 

Kembali ke judul
Kembali ke judul tulisan "How Cat You Go? sebenarnya saya pingin nulis saja tentang 'kucing' untuk sekedar mengobati rasa kangenku untuk nge'blog'. Kucing ini adalah adalah fenomena yang aneh dikehidupanku hanya karena 'aku pecinta kucing'! 
Jadi kalau anda bukan pecinta kucing, atau bahkan pembenci hewan berbulu lembut dengan kumis di mukanya serta bola mata bulat yang bisa mengkomunikasikan 'suasana hatinya ini', maka jangan teruskan membaca tulisan ini. Kecuali, jika anda sekedar penasaran,atau sekedar iseng ingin membaca tulisan ini sebagai sesuatu yang minim 'faedah'.

Masa kecil dan 'Mbok Kucing'
Kami menyebutnya 'mbok kucing' sebagai kucing betina yang telah beranak-pinak sampai benar-benar sudah tidak ada lagi peranakan kucing darinya. Sebenarnya ada banyak kucing datang dan pergi di kehidupan kecilku, akan tetapi 'Mbok Kucing' ini tak anggap sebagai momentum pertama kucing yang perjalanan hidupnya paling lengkap dan kuingat di kepalaku.

Mbok kucing tidak kami pelihara sedari kecil, tetapi ia sekonyong-konyong entah datang dari mana sudah dalam keadaan besar. Bulunya belang-belang, kembang telon, kami mengistilahkan, dengan ekor panjang, ujung lancip tetapi 'tertekuk'. Saya baru mengetahui kemudian ekor yang 'tertekuk' itu dikarenakan saat dalam kandungan ia berjubal dengan jabang bayi anak kucing yang  lain, sehingga menyebabkan ekornya tertekuk semenjak lahir. Matanya menyipit sebelah yang sepertinya bukan karena bawaan lahir tetapi karena kesembuhan dari penyakit mata yang menyisahkan cacat mata menyipit sebelah. Selain matanya yang sipit, Mbok kucing itu tubuhnya kurus kering ketika pertama kali datang. Maka kami menamai mbok kucing itu dengan 'Sipit' dan secara resmi menempati rumah kami hingga kemudian beranak-pinak.
Sekilas tak ada yang istimewa dari 'Sipit' mengingat ia hanya kucing kampung kurus dengan muka yang tak begitu menarik dan cerewet karena sering 'mengeong'.

Mbok kucing alias si 'Sipit' ternyata adalah semacam kembang kampung bagi kucing-kucing kampung di tempat kami. Selepas kedatangan 'Sipit', banyak kucing-kucing cowok berdatangan ke rumah kami. Ada yang nangkring di genting, bergelanjutan di pohon, duduk di jok motor sambil pura-pura mau ngajak piknik, atau bergulung-gulung di jalan depan rumah berpura-pura mau 'bunuh diri' untuk menarik perhatian 'Sipit'. Kadangkala ada yang datang sambil mempersemahkan hadiah berupa hasil perburuan masing-masing; dari tikus, ular, burung sampai dengan lauk ikan curian.

Sireng
Dari kesekian kucing yang saling berkompetisi itu, barulah kami mengetahui siapa pemenangnya saat si 'Sipit' hamil akibat 'pergaulan bebas' ini hinga kemudian melahirkan anak kucing. "Sireng"  adalah singkatan dari Si Ireng atau si hitam yang merupakan salah satu anak kucing peranakan sipit dengan kucing pemenang berbulu hitam. Karena dominasi warna kulit dari bapaknya adalah hitam, maka sireng ini tentu saja berbulu hitam dengan sedikit putih di bagian kaki, hidung serta perut ke dada. Sementara ciri khas dari 'Sipit' hanyalah menyisakan ekor yang lancip 'tapi tertekuk'. 
Tak banyak kenangan yang kuingat dari sireng selain ia akhirnya tumbuh menjadi 'berandal' kampung. Pada awalnya Sireng ini adalah penghuni manis etalase kios bengkel yang dijaga ibuku, hingga akhirnya ia lebih suka keluyuran ke kampung-kampung hingga akhirnya menghilang entah kemana. Sesekali 'Sireng' pulang dengan sekujur tubuh sudah babak bundas sekedar terlihat sebentar untuk kemudian lantas pergi menghilang lagi.  

Paijo


 

13 Des 2018

The Last Durian

Nun, aku pernah tinggal lama di sebuah kampung bernama ponggalan. Konon, kampung yang sekarang sudah menjadi perkotaan itu dulunya sebuah desa. Setidaknya pinggiran kota yang masih didominasi orang-orang yang bekerja di sawah alias bertani. Pun aku masih mengalami masa-masa ketika di musim tertentu orang-orang memanggil anak-anak untuk mengadakan wiwitan. Wiwitan adalah semacam membuat tumpeng kecil dengan sayuran, potongan telur, ikan asin, tempe garit dan teh yang digilir dengan gelas omprong. Maka anak-anak kecil tanpa perlu dipanggil sudah berlarian mengular, membututi petani yang sedang mengendong nasi wiwit itu ke pematang menuju petak sawah yang akan digarapnya. Lantas, beberapa pincuk atau  tempat makan dari daun pisang sudah disipakan untuk kami anak-anak berbagi nasi wiwitan tersebut. Masing anak mendapat 1 pincuk kecil nasi, lalap sayur, potongan tempe garit, ikan asin dan paling hits atau istilah kami adalah pukulan gongnya adalah sepotong, tepatnya seperdelapan potong telur rebus. Itu sungguh nikmat sekali. Tetapi kurun itu sudah berlalu lama-sekali, terkikis habis seiring dibukanya akses aspal lebar dan perkembangan pesat kota kami.
--------
Ponggalan beberapa tahun belakangan terus bergerak. Rumah-rumah baru bermunculan, orang-orang berdatangan. Apalagi kini ada kampus baru agak berdekatan dengan kampung kami, sehingga banyak mahasiswa, paling banyak mahasiswi yang indekos di kampung kami. Maka bisnis kamar kos, laundry sampai warung-warung mulai bermunculan. Depan rumah masih kokoh 2 pohon durian tua. Seingatku itu adalah tahun 2000an dan 2 pohon itu adalah durian terakhir di kampung kami.

Mendiang bapak pernah membeli sepetak tanah, tepatnya agak ke tepi timur kampung kami. Di tanah itu masih tersisa 1 buah pohon durian tua. Tetapi selepas berganti pemilik, ternyata pemilik baru tidak mempertahankan durian itu. Maka 2 pohon durian di depan rumah itulah yang tersisa di kampung kami.
-----
Ini adalah musim kemarau dan 2 Pohon durian terakhir mulai berbuah lebat. bahkan beberapa buah sudah mulai nampak menyeruakkan aroma khas harum durian. Sang pemilik pohon yang notabene adalah tetangga kami tentu saja sangat senang. Seperti tahun-tahun sebelumnya, jika bola-bola buah durian  sudah mulai nampak membesar, ia akan mengundang seorang tetangga kami juga (yang saya lupa namanya) yang sangat gesit memanjat pohon dan kemudian mengikat satu persatu durian tersebut dengan tali. Walhasil jika durian itu sudah matang sempurna, sik durian akan jatuh dengan sendirinya dari tangkainya. Tetapi karena sudah terikat dengan tali, sik durian hanya bergelantungan saja pada batang ikatan. Maka pagi harinya atau mungkin beberapa hari kemudian, sekalian susul susul menyusul menunggu bergelantungannya buah-buah durian masak lainnya, sik pemilik (Mas Panut namanaya) akan memanen dengan mudah.
"Tapi sepandai-pandainya diikat, tetap saja ada beberapa durian yang jatuh jua ke tanah"
Apalagi 2 pohon durian terakhir itu cukup subur. 1 pohon usianya mungkin jauh melampaui dari usia usiaku saat itu, dengan urat-urat batang yang menujukkan perjalannanya tumbuh telah melalui berbagai musim, mungkin saksi bisu juga ketika jalan aspal depan rumah masih berupa jalan setapak.
1 pohon yang terbesar kali ini buahnya luar biasa banyak. Apalagi pada ujung-ujung batang yang jauh dan agak rapuh, tidak terjangkau tangan sang pemanjat dan pengikat gesit. maka saat keberuntungan bagi kami menunggu durian jatuh. Utamanya di malam hari.
-----
Nun, sang pemilik 2 pohon durian terakhir mulai was-was akhir-akhir ini. Beberapa buah durian pada ujung batang memang sulit diikat dan aromanya kian menyeruak menujukkan tingkat kematangan semakin mendekat. Sebentar lagi jatuh. kalau toh siang hari, tentu masih bisa diselamatkan dari tangan kami, penikmat durian jatuh, tapi jika malam hari harus berjaga apabila mendengar bunyi suara "GdeBukkk!"
---
Malam ini sedang banyak rekan-rekan berkumpul di rumah. Sebenarnya sudah menjadi malam sewajarnya, rumah kami selalu ramai pada bergadang sampai malam. Namun untuk menunggu durian jatuh agak sulit bagi kami. Karen akhir-akhir ini mas Panut lebih sering lebih gesit dari kami dalam urusan bunyi "Gdebukk!"
Tiba-tiba entah ide dari siapa yang memulai, salah seorang dari kami mengambil batu bata besar. Dilemparkannya batu bata itu ke tanah kosong dekat pohon durian itu. Lantas kami semua pura-pura tidak tau serta kembali ngobrol seperti biasa di depan rumah.
Benar saja, tak menunggu waktu lama keluarlah mas Panut dari rumahnya. Terlihat kemudian hilir mudik mencari arah sumber suara dan melihat ke arah kerumunan kami.
Tak percaya, Mas panut sempat mendekat ke arah kami, sambil menyelidik, kiranya ada aroma durian jatuh disembunyikan di sekitar tempat kami duduk. Tetapi tak nampak olehnya... Mungkin pikirnya sudah disembunyikan oleh kami.
"Gdebukkk", kali kedua salah satu dari kami melempar batu bata lagi ke petak kosong. Kali ini Mas panut keluar lagi. Di tangannya menggengam senter, lalu disorotnya ke arah kira-kira sumber suara serta ke arah atas pada ikatan-ikatan rerimbun buah durian. Lalu ia sempatkan Celingak celinguk dan menyelidik ke arah kami. Masih pula nihil.
Entah apa yang terlintas di pikiran mas panut waktu itu... apakah sudah sadar dikerjai oleh kami, ataukah mungkin  dia berfikir 2 buah durian matang jatuh ke tangan kami. Barangkali ikatannya lepas....
---
Malam sudah sangat larut saat "Gdebukkk" yang ketiga kalinya muncul. Kali ini bukan dari buah tangan ulah kawanku. Tetapi memang suara alami dari sebuah durian matang sempurna yang tangkainya sudah tidak kuat lagi menahan beban kematangan lalu melepaskan cengkramannya dan membuatnya jatuh ke bawah oleh gaya gravitasi bumi dan tertangkap dengan empuk oleh tanah kosong beberapa langkah dari pohon induknya. Sang durian jatuh lantas agak berguling sebentar lantas diam menunggu diambil orang. Dan sangat beruntungnya kami karena mas panut tak jua keluar dari rumahnya. Setelah kami diamkan sejenak, barulah kami diam-diam mengendap meraih durian itu. Maka di penghujung malam itupun kami berpesta membelah durian. Sebuah durian terakhir di kampung kami yang bisa kami nikmati karena di tahun berikutnya pohon durian itu telah ditebang karena berganti pemilih tanah. Kini bekas 2 durian terakhir di kampung kami telah berdiri rumah. Dan mas panut tak perlu lagi was-was jika malam tiba saat musim durian mulai datang. 

Jogo cakruk- Edisi Ketemu orang Tersesat

Tempat tinggalku sekarang memang persis di pinggiran sungai Opak. Sebuah perumahan yang berada di ujung desa Jogotirto dan jalan aspal masuknya berujung pada jalan buntu menuju tepian sungai. Maka tak heran apabila beberapa kali pelancong atau sekedar orang yang pertama kali melewati di sana bisa tersesat. Dianggapnya jalan aspal yang masuk melalui perumahan itu akan berujung pada jembatan menyeberang sungai opak dan menuju aspal lain di seberang desa. Tetapi mungkin untuk adanya jembatan tersebut perlu waktu bertahun-tahun lagi. Pun bisa jadi hanya angan-angan.
---------
Nun, seperti biasa, suasana malam seputaran dirgantara asri sudah mulai sepi. Pintu pintu rumah sudah tertutup dan kucing-kucing mulai berseliweran di genting. Meski kemarau belum berakhir, tetapi udara tidak terlalu dingin. Jalan aspal yang masuk ke perumahan masih berkabut debu, yang belum mengendap setelah seharian digerus roda-roda kendaraan dan mobil bak pasir. Pak Sugi, salah satu anggota ronda paling rajin, sudah berangkat meluncur menuju pos ronda, lengkap dengan celana training, kaos pudar dan selempang sarung.  Pos ronda masih belum ada orang, tikar pun belum digelar dan tampak remah sisa makanan dan bungkus snack berserakan. Pasti seperti biasa, sore tadi jadi arena kumpul anak-anak perumahan. Pak Sugi memukul kentongan beberapa kali, sekedar isyarat agar rekan-rekan rondanya lain yang dalam papan daftar ada sekitar 14 orang bisa segera hadir. Maka tak perlu waktu lama, satu persatu personilpun berdatangan, dari Algi, Pak Joko, Pak Yanuar, Alex, Pak Padi, Pak Faisal, Pak Samino, Pak Heri dll. Malam itu agak lengkap, meskipun tidak ada yang membawa camilan atau minuman. Obrolan pun mulai membuncah keberbagai topik, dari sepakbola sampai politik kampung. Dari plesetan sampai parodi.  Cerita paling seru  akhirnya datang dari Algi si anak rantau mahasiswa asal NTB yang malang melintang sampai akhirnya terdampar di PDA.
----------------
Malam itu tokoh utama adalah Algi yang dengan gayanya yang eksentrik khas orang timur gemar bercerita sepak terjang keseharian hidupnya  Tiba-tiba, ditengah keasyikan Algi yang mencerita-kan kelihaiannya sebagai sales parabola, seorang bapak paruh baya turun dari jalan menuju ke pos ronda. Si Bapak muncul sambil menuntun sepeda gunung karatan. Kabut debu jalanan ditambah kemunculannya yang tiba-tiba membuat kami semua bergidik terkejut. Taksirannya sekitar umur kepala 5 dan perawakannya tegap. Dikepalanya memakai topi dan nampak dari pakaiannya yang sedikit rapi menandakan ia bukan datang dari tempat jauh.
“Jalan buntu itu pak, bapak dari mana mau kemana?”
"Klaten! Lewat mana ya?"
 Malam-malam jam 11 an begini mau ke klaten? dengan sepeda bocor?
Berbagai pertanyaan tentu saja muncul di benak kami. Ditanya namapun si Bapak hanya menjawab berputar-putar.  Ditanya A jawabnya B. Jikapun orang gila, cara ngomong  Bapak ini tidak menujukkan seperti itu. Tetapi kelihatan sekali Bapak ini agak linglung.  Mungkin pula pikun.
"Jangan jangan intel? Intel yang ngaku-ngaku orang gila, apalagi jelang pilkada begini"
Sepeda yang dituntunya itu baik ban depan maupun belakang tampak gembos yang membuat kami berfikir bahwa hal itu bukan tanpa disengaja. Kalaupun maling sepeda, bapak itu tak menunjukkan perawakan seperti itu, pun sepeda itu kelihatannya tidak cukup berharga kecuali di tangan tukang loak. Satu per satu dari kami mencoba mengorek, keterangan, sekedar dapat secuil informasi. Tetapi si Bapak tetap kebingungan. Kecuali Algi, pengalamannya sebagai sales parabola mungkin mengasahnya untuk menghadapi berbagai bergai macam orang termasuk dengan Bapak itu.
-----
Setelah ngobrol panjang lebar Algi mendapatkan cerita Bapak ini bukan orang sembarangan, paling tidak jika bukan dari kalangan tentara, mungkin pensiunan tentara. Ada sekelumit cerita juga Bapak ini pernah dikeroyok dengan banyak orang  dari tentara. Apapun cerita Bapak tadi, Algi terus mengikuti sambil mengulik informasi.  Di tengah-tengah percakapan Algi dengan Bapak itu, lamat-lamat muncul nama seseorang yang cukup populer. “Tejo. Tejo mantan dukuh kita!”  “Masih saudaranya pak Tejo kayaknya” Dengan bujukan Algi, rombongan piket ronda akhirnya mengantarkan Bapak itu ke tempat pak Tejo. Sambil berjalan Algi masih ngobrol dan mengikuti cerita Bapak itu.
-----
  Jalan kaki menuju rumah pak tejo yang berada di tengah pemukiman Jragung lumayan jauh dan saat itu sudah jam 12 lebih, berbekal  secarik nama kami berharap kami mengantarkan ke tempat yang tepat. Lagipula tengah malam begini sangat berisiko kami mengetuk pintu rumah Pak Tejo besar kemungkinan sudah lelap. 3 kali lebih kami mengetuk rumah Pak Tejo dan yang bersangkutan belum jua kelihatan. Hampir saja kami menyerah saat tiba-tiba di tikungan depan rumah Pak Tejo muncul sesosok perempuan paruh baya.  “Ealah pak, pulang! Tak Jewer kupingmu lho!” Ternyata sosok itu adalah istrinya dan benar Bapak itu adalah adik pak tejo yang rumahnya persis hanya beberapa petak dari rumah Pak Tejo. Tambah lagi bapak itu memang pensiunan perwira dan sudah beberapa waktu ingatannya sudah mulai pikun. Sang istri sengaja menggemboskan sepeda itu agar si Bapak tidak mengeluyur kemana-mana. Perempuan itupun meminta maaf dan berterima kasih sudah menghantarkannya pulang.
----
  Syukurlah, masalah sudah terselesaikan dan kamipun harus jalan kaki lagi pulang ke perumahan. Benar-benar malam yang melelahkan. 

12 Des 2018

Mbayung

        Makan siang kali adalah sayur mbayung yang mengingatkanku pada masakan simbok. Saat usia SMP aku dititipkan pada simbok, yakni panggilanku pada simbah putri, ibu dari ibukku. Kebiasaan ibu ku memanggil simbah dengan simbok sehingga aku dan saudara-saudaraku terus memanggilnya dengan simbok.
Mbayung adalah daun kacang panjang. Daun ini dahulu identik dengan bahan masakan kelas bawah. Karena tidak seperti daun-daun yang lain, misalnya bayam, sawi dsb, daun kacang panjang ini bisa dikatakan limbah pertanian. Dahulu simbok mendapatkan daun mbayung dengan cuma-cuma dari kebun tetangga ataupun kalau dibeli dipasar sangatlah murah.
     Di usianya yang sudah lanjut, dengan rambut yang keseluruhannya sudah putih, simbok masih gesit di kesehariannya. Memasak, mengurus 'mbah kung' suaminya tercinta, mencuci dan segenap centang perentang keperluan rumah. Simbok kesehariannya memakai jarit serta kebaya sederhana. Sebuah stagen panjang selalu melilit di pinggang simbok membuat seusianya masih terlihat tegap.
     Di ingatanku untuk urusan masak, simbok adalah koki terhebat. Masakannya meskipun dengan bahan-bahan seadanya, selalu terasa nikmat. Simbok sepertinya menikmati urusan memasak ini sebagai rutinitas yang menyenangkan.
Di sekitar rumah simbok ada beberapa tanaman yang sering jadi sasaran untuk olahan masak. Beberapa batang pohon melinjo, tanaman katuk, tanaman bluntas, singkong, pepaya dan kebun sayuran dengan paling banyak diisi cabai dan kemangi. Lantas bisa dibayangkan deretan tanaman diatas sudah menjadi menu bergilir untuk olahan sayuran. Buah Pepaya muda dijadikan sayur bobor atau kadang oseng-oseng, daun pepayanya diolah jadi oseng-oseng, daun katuk dijadikan bobor, daun ketela dijadikan lodeh dan sebagainya. Khusus menu protein apabila sedikit beruntung sedang panen telur di kandang ayam mbah kakung, 1 atau 2 butir telur diaduk dicampur potongan halus daun melinjo muda. Dadar daun melinjo muda ini rasanya enak sekali, meskpun harus dipotong-potong menjadi beberapa bagian, untuk lauk pagi, siang dan sore.
Terakhir, kembali ke soal mbayung, jikalau simbok pulang dari pasar sayur yang sering dibawa adalah daun mbayung, mungkin karena sayuran itu paling murah. Diolah dengan santan, diberi  tempe busuk (tempe bosok) dan jikalau sedang musim petai, cukup 5 atau 7 mata petai dimasukkan ke sayur mbayung sebagai bumpu pelengkap. Rasanya tidak ada yang mengalahkan sayur mbayung bikinan simbok. Beberapa kali sayuran bayung itu dulu muncul meja makan rumah simbok, beberapa kali pula tak pernah bosan rasanya menikmatinya. 

22 Sep 2018

Otak Atik Gatuk

Otak atik gatuk adalah semacam ilmu mistik perhitungan ala orang Jawa. Kalau dulu ilmu otak atik gatuk ini mungkin dengan berbagai perhitungan tanggal dan tanda-tanda alam yang rumit, tetapi kini penerapannya mungkin lebih sekedar istilah; "Menghubung-hubungkan". Pengambilan nomer urut presiden 22 September 2018 kemarin, mengingatkanku pada memori tentang ilmu otak atik gatuk. Tetapi ingatanku ini bukan soal politik, tetapi soal ilmu otak atik gatuk iseng ala mbah Atemo.

           Namanya mbah atemo, tetapi kami memanggilnya mbah atmo. Tidak banyak yang tahu kecuali anak dan cucu-cucunya dan keluarga dekatnya kalau mbak atemo ini dulunya adalah veteran tentara yang ikut dikirim saat operasi ganyang malaysia. Pun tidak banyak yang tahu, kecuali istri dan anak-anaknya kalau mbah atemo pernah terombang-ambing menjadi ABK kapal selama berbulan-bulan saat mencoba kembali ke Indonesia dan harus jalan kaki mengikuti jalur kereta api dari anyer menuju tugu untuk bisa kembali ke Yogyakarta menemui kembali keluarganya yang menganggapnya telah tiada. Tetapi torehan blog kali ini bukan mau menulis soal mbah atemo, Mungkin lain kali, karena Mbah atemo ini segmen khusus dengan kontemplasi dan olah sejarah yang mungkin perlu waktu lama.
         Salah satu kebiasan mbah atmo selepas menjadi veteran tanpa penghargaan adalah pasang nomor togel. Waktu itu masih tenar jaman SDSB (Sumbangan Dana Sosial Berhadiah) yang konon katanya adalah judi berkedok iuran sosial yang dilembagakan. Wah. entah lupa siapa dulu yang mencanangkan, tetapi itu sudah lama sekali sewaktu pemerintah jaman Sohearto, dan sik penulis blog sendiri masih seumuran SD.
          Mbah Atemo tidak selalu pasang nomer, karena juga sebagai veteran tanpa gelar, pekerjaan mbah atemo sebagai kuli pabrik batik cap di imogiri hanya memberikan imbalan (kalau tidak salah ingat) Rp. 5.000,- saban minggu. Itupun Mbah Atemo berangkat mengayuh sepeda pagi-pagi dari Prenggan Kotagede ke Imogiri sekitar 1 jam lebih.
Sehingga pasang nomer baginya adalah adu peruntungan, siapa tau nasib mujur bisa tembus 2 angka sehingga bisa buat bonus belanja kebutuhan.
         Aspiyah, adalah istri mbah atemo, tahu betul berapa pendapatan suami tercintanya ini, sehingga mbah atemo harus pandai-pandai menyisihkan setoran buat istrinya dan menyimpannya sendiri.
Nah, belakangan baru diketahui tempat paling rapih untuk menyimpan sisihan uang setoran itu adalah di kap lampu sepeda onthelnya. Sehingga, setelah beberapa hari, mbah atemo baru bisa mendatangi kios penjual nomer SDSB.
Otak aktik Gatuk
Tidak sekedar pasang, dengan pengalaman pahit getir yang dialami mbah atemo, mungkin di punya ilmu tersendiri buat pasang nomer. "Didalam sebuah keapesan pastilah ada keberuntungan" adalah prinsip matematik mistik yang dipegang mbah atemo. Dan prinsip matematik ini bukan tanpa bukti empirik. Seperti disampaikan sebelumnya, mbah Atemo tidak selalu membeli SDSB buat dirinya sendiri tetapi ia sering diminta tetangga atau teman-temannya bila ada yang mau memasang nomer.
Salah satu kejadian yang kuingat, ketika ada anaknya yang kemalingan motor. Saat mendengar kabar anaknya kemalingan motor itu, seketika hari itu juga mbah atemo memasang nomer SDSB, kebetulan karena uang yang ia dapat hanya cukup membeli 2 nomer dari sekian banyak nomer yang bisa dipasang (penulis rupa sampai berapa nomer). Nomer yang dipasang adalah persis 2 digit pertama pada plat nomer motor yang hilang tersebut. Maka benarlah, ternyata angka yang keluar sebenarnya kalau mbah Atemo pasang 4 digit maka keberuntungan berlipat dari sekedar pasang 2 digit. Karena memang seperti yang diprediksi bahwa angka yang keluar adalah 4 digit persis sesuai plat nomer motor yang hilang itu.

20 Agu 2013

Are you Singing?

946260_10200619693068555_1055009167_n

Ada ritual yang selalu susah dilakukan saban waktu ia mudik ke desa magetan. Desa itu bernama nglemi, sungguh aneh nama desa itu, terletak di dekat stasiun barat, daerah tanggung antara magetan dan madiun. Sebenarnya lebih dekat dengan madiun meskipun secara antropologis masyarakatnya, terutama laki-laki banyak yang sejak dini telah dibekai seni bela diri pencak silat 'Teratai'. Penanda, ada patung si pendekar 'teratai' di pertigaan masuk menuju desa 'nglemi' yang makmur permai ini. Penduduknya terutama yang tua tua adalah petani tradisionil yang menanam padi setahun minimal 2 kali bertenaga pengairan dari pompa air yang menyedot dari saluran irigasi yang dibangun sejak tahun 1970. Maka memandang landscape 'nglemi' seperti mencomot lukisan 'realisme-romantis' pemandangan sawah yang hijau, petani dengan caping, penggembala menggiring kerbau dan gunung lawu di kejauhan.

Dan ritual saban tahun yang selalu terulang saat ia mudik ke 'Nglemi' adalah buang hajat di sungai. Hampir semua rumah penduduk memang belum memiliki kakus. Kalaupun ada, konstuksi kakus adalah tembok bata rendah yang cukup untuk menutupi sebagian tubuh anda ketika berjoniok dengan menyisahkan sejumput rambut kepala. Konstriksi 'kakus' pribadi itupun langsung beratapkan langit.

***

Memang saluran irigasi itu memanjang dari ujung timur ke barat persis di tepian areal persawahan yang berlandscape seperti comotan lukisan 'mooi indie' itu. Biasanya jam sibuk adalah pagi hari, saluran irigasi itu, sudah diantri para penduduk yang ngantri ingin 'melarung' isi perut sisa makanan. Maka ada protokorel tak tercatat bagi siapa saja yang ingin mengantri kakus panjang ini. Terutama juga bagi dia yang dirumahnya memang tak punya kakus pribadi;
1. Lihat pandangan
Lihat pandangan anda sejauh mata memandang apakah jarak terdekat di areal irigasi sudah terisi orang yang   berjongkok. Karena biasanya antrian terawal orang akan mencari tempat terfavorit di persis di bawah jembatan. Selain karena struktur jembatan yang dibangun sejak 1970 itu menyediakan blok yang nyaman buat nangkring juga karena ujung jembatan berarti tempat pertama anda bisa mendaratkan muatan anda tanpa mendapatkan umpan mentah dari peserta 'buang hajat' yang lain.
Maka jika kurang beruntung, anda akan dapat tempat terujung dengan konsekuensi tumpukan umpan mentah dari yang mengalir menuju anda dari para pembuang 'hajat' sebelumnya. Dan yang harus anda harus berjalan dengan pura pura tak melihat para 'pejongkok' sampai menemukan tempat anda sendiri.
2. Jaga jarak
Jaga jarak adalah etika kedua, terutama di jam sibuk pagi hari untuk ritual buang hajat berjamah ini. Kira-kira seratus meter, cukup agar aliran irigasi bisa menerpa deras benda yang anda larung dan simbiosis mutualisme antara benda yang anda larung dengan organisme di sungai macam ikan, lumut kodok, kepiting dan lain lain bisa berebutan menguraikannya.
Jaga jarak juga terjadi agar anda tidak terlalu sakit mata saat seorang peserta buang hajat berjamaah selesai duluan dan mengangkat (maaf) bongkahan p**tatnya di depan mata anda. Cahaya matahari pagi bisa bisa langsung memantul padanya dan sekejap membahayakan mata anda.
3. Kasih tanda
Kasih kode seperti saat anda makan di restoran berkelas. Jika anda memesan meja, maka anda akan menandai meja itu dengan kartu atau semacamnya. Maka peserta buang hajat berjamaah ini biasanya kasih tanda di depan tempat mereka berjongkok, misal dengan menaruh sandal, sepeda atau benda-benda apa saja yang bisa ditinggalkan untuk memberi tanda, dalam radius beberapa langkah ada si fulan sudah jongkok disitu.
4. Tetap waspada
Tetap waspada karena anda berada di alam terbuka. Tantanganya adalah binatang binatang liar macam ular, kodok atau apapun itu.
5. Menundukkan pandangan
Disinilah anda diuji untuk menundukkan pandangan saat melewati peserta lain. Tidak usah menoleh atau bahkan menyapa, cukup tetapkan langkah ke depan luruskan niat ke depan.
***
Tiap kali ia mudik ke desanya, maka tiap kali pula kejadian ini terulang. Sebenarnya mudah baginya untuk membuatkan kakus permanen bagi pak dan mboknya. Tapi bukan itu yang pak dan mbok nya ingini. Pun akhirnya dia mengerti mengapa penduduk desa nglemi lebih banyak yang suka berhajat di saluran irigasi itu. Karena sampai sejauh apapun seseorang mengejar status, mengejar keinginan, darimanapun orang, kemanapun orang, kalau sudah berjongkok akhirnya berakhir sama saja. Apapun yang dimakan orang, berapapun mahalnya, apapun rasanya ketika telah dikeluarkan hasilnya sama saja.
***
Saat ia pulang, sayup sayup terdengar di telinganya
'Ayo ngising... ayo ngi sing..."
'Ning kebon, ning kebon.."
'Tutupi godong pring...
tutupi godong pring"
'ben gareng'